Friday, 30 June 2017

Resume Fiqh Muamalah JUAL BELI



RESUME
BAB 4
( JUAL BELI )
Review ini disusun Untuk memenuhi tugas:
FIQH MUAMALAH 1
Dosen Pengampu: Drs. Abdul Wahab Ahmad Khalil,M.A



Disusun oleh:
Ricky setiawan                        : 931211116



PROGRAM  STUDI HUKUM EKONOMI SYARI’AH
JURUSAN SYARI’AH
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN) KEDIRI
2017


RESUME PEMBAHASAN

A.    Pengertian Jual beli
            Jual beli atau perdagangan dalam istilah fiqh disebut al-ba’I  yang menurut etimologi berarti menjual atau mengganti. Wahbah al-Zuhaily mengartikan secara bahasa dengan menukar sesuatu dengan sesuatu yang lain. Kata al-Ba.i dalam Arab terkadang digunakan untuk pengertian lawannya, yaitu kata al-Syira (beli).Dengan demikian, kata al-ba’I berarti jual, tetapi sekalius juga berarti beli.[1]
            Secara terminologi, terdapat beberapa definisi jual beli yang masing definisi sama.
Sebagian ulama lain memberi pengertian :
a)      Sayyid Sabiq
      Ia mendefinisikan bahwa jual beli ialah pertukaran harta dengan harta atas dasar saling merelakan atau memindahkan milik dengan ganti yang dapat dibenarkan. Dalam definisi tersebut harta dan, milik, dengan ganti dan dapat dibenarkan.
b)      Ulama hanafiyah                                              
      Iamendefinisikan bahwa jual beli adalah saling tukar harta dengan harta lain melalui Cara yang khusus. Yang dimaksud ulama hanafiyah dengan kata-kata tersebut adalah melalui ijab qabul, atau juga boleh melalui saling memberikan barang dan harga dari penjual dan pembeli
c)      Ibnu Qudamah
      Menurutnya jual beli adalah saling menukar harta dengan harta dalam bentuk pemindahan milik dan pemilikan.Dalam definisi ini ditekankan kata milik dan pemilikan, karena ada juga tukar menukar harta yang sifatnya tidak haus dimiliki seperti sewa menyewa.[2]
     Dari beberapa definisi di atas dapat dipahami bahwa jual beli ialah suatu perjanjian tukar menukar benda atau barang yang mempunyai nilai secara ridha di antara kedua belah pihak, yang satu menerima benda-benda dan pihak lain menerimanya sesuai dengan perjanjian atau ketentuan yang telah dibenarkan syara’ dan disepakati.Inti dari beberapa pengertian tersebut mempunyai kesamaan dan mengandunghal-hal antara lain :
a)      Jual beli dilakukan oleh 2 orang (2 sisi) yang saling melakukan tukar menukar.
b)      Tukar menukar tersebut atas suatu barang atau sesuatu yang dihukumi seperti barang, yakni kemanfaatan dari kedua belah pihak.
c)      Sesuatu yang tidak berupa barang/harta atau yang dihukumi sepertinya tidak sah untuk diperjualbelikan.
d)     Tukar menukar tersebut hukumnya tetap berlaku, yakni kedua belah pihak memilikisesuatu yang diserahkan kepadanya dengan adanya ketetapan jual beli dengan kepemilikan abadi.
B.     Landasan Hukum Jual Beli
Landasan Syara’: Jual beli di syariatkan berdasarkan Al-Qur’an, Sunnah, dan Ijma’. Yakni:
a.       Berdasarkan Al-Qur’an diantaranya:
وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا
Artinya: “ Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba”. (Q.S Al- Baqarah : 275)
b.      Berdasarkan Sunnah
Hadis  yang diriwayatkan oleh Rifa’ah ibn Rafi’:
سُئِلَ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم : أَيُّ الكَسبِ أَطيَبُ ؟ فَقَلَ : عَمَلُ الرَّ جُلِ بِيَدِه ِوَكُلُّ بَيع ٍمَبرُورٍ (رواه ابزار والحا كم)
“Rasulullah saw. Ditanya salah seorang sahabat mengenai pekerjaan (profesi) apa yang paling baik. Rasulullah saw menjawab: Usaha tangan manusia sendiri dan setiap jual beli yang diberkati”. (HR. Al-Bazzar dan Al-Hakim).
C.    Rukun Dan Syarat Jual Beli
Rukun jual beli menurut ulama Hanafiyah hanya satu, yaitu ijab qabul, ijab (ungkapan membeli dari pembeli) dan  qabul (ungkapan menjual dari penjual).
 Akan tetapi jumhur ulama menyatakan bahwa rukun jual beli itu ada empat, yaitu:
1.      Ada orang yang berakad (penjual dan pembeli).
2.      Ada sighat (lafal ijab qabul).
3.      Ada barang yang dibeli (ma’qud alaih)
4.      Ada nilai tukar pengganti barang.
Adapun syarat-syarat jual beli sesuai dengan rukun jual beli yang dikemukakan jumhur ulama diatas sebagai berikut :
a.       Syarat-syarat orang yang berakad
Orang yang melakukan akad jual beli itu harus memenuhi syarat, yaitu :
1)      Berakal sehat,
2)        Atas dasar suka sama suka
3)        Yang melakukan akad itu adalah orang yang berbeda.
b.      Syarat yang terkait dalam ijab qabul
1)      Orang yang mengucapkannya telah baligh dan berakal.
2)      Qabul sesuai dengan ijab. Apabila antara ijab dan qabul tidak sesuai maka jual beli tidak sah.
3)      Ijab dan qabul dilakukan dalam satu majelis. Maksudnya kedua belah pihak yang melakukan jual beli hadir dan membicarakan topic yang sama.[3]
c.       Syarat-syarat barang yang diperjual belikan (Ma’qud ‘alaih)
Syarat-syarat yang terkait dengan barang yang diperjualbelikan sebagai berikut :
1)      Suci, dalam islam tidak sah melakukan transaksi jual beli barang najis, seperti bangkai, babi, anjing, dan sebagainya.
2)      Barang yang diperjual belikan merupakan milik sendiri atau diberi kuasa orang lain yang memilikinya.
3)      Barang yang diperjua lbelikan ada manfaatnya.
4)      Barang yang diperjual belikan jelas dan dapat dikuasai.
5)      Barang yang diperjual belikan dapat diketahui kadarnya, jenisnya, sifat, dan harganya.
6)        Boleh diserahkan saat akad berlangsung .
d.      Syarat-syarat nilai tukar (harga barang)
Unsur terpenting dalam jual beli adalah nilai tukar dari barang yang dijual (untuk zaman sekarang adalah uang).
Para ulama’ fiqh mengemukakan syarat-syarat al-tsaman sebagai berikut:
1)      Harga yang disepakati kedua belah pihak harus jelas jumlahnya.
2)      Boleh diserahkan pada waktu akad, sekalipun secara hukumseperti pembayaran dengan cek dan kartu kredit. Apabila harga barang itu dibayar kemudian (berutang) maka pembayarannya harus jelas.
3)      Apabila jual beli itu dilakukan dengan saling mempertukarkan barang maka barang yang dijadikan nilai tukar bukan barang yang diharamkan oleh syara’, seperti babi, dan khamar, karena kedua jenis benda ini tidak bernilai menurut syara’.
e.       Syarat harga dan yang dihargakan
1)      Bukan barang yang dilarang syara’
2)      Harus suci, maka tidak dibolehkan menjual khamar, dan lain-lain.
3)      Bermanfaat menurut pandangan syara’.
4)      Dapat diketahui oleh kedua orang yang akad.
5)      Dapat diserahkan.
Di samping syarat-syarat yang berkaitan dengan rukun jual beli di atas, para ulama’ fiqh juga mengemukakan syarat-syarat lain, yaitu:
a.       Syarat sah jual beli
1)   Jual beli itu terhindar dari cacat, seperti criteria, kualitas, kuantitas, dan harganya tidak jelas.
2)   Apabila barang yang diperjual belikan itu bergerak, maka barang itu boleh langsung dikuasai pembeli dengan harga barang dikuasai penjual. Adapun barang tidak bergerak boleh dikuasai pembeli setelah surat menyurat diselesaikan sesuai dengan kebiasaan setempat.
b.      Syarat yang berkaitan dengan jual beli. Jual beli baru boleh dilaksanakan apabila yang berakad mempunyai kekuasaan untuk melakukan jual beli.
c.       Syarat yang terkait dengan kekuatan hokum akad jual beli. Para ulama fiqh sepakat bahwa suatu jual beli baru bersifat mengikat apabila jual beli itu terbebas dari segala macam khiyar (hak pilih untuk meneruskan atau membatalkan jual beli), apabila jual beli masih memiliki hak khiyar maka jual beli itu belum mengikat dan masih boleh dibatalkan.
A.           Prinsip Jual Beli
Prinsip dasar fiqih muamalah adalah sebagai berikut :
1)      Prinsip Dasar
a.        Hukum asal dalam muamalah adalah mubah (Diperolehkan)
b.      Konsep fiqih muamalah untuk mewujudkan kemaslahatan
c.       Menetapkan harga yang kompetitif
d.      Meninggalkan investasi yang dilarang
e.       Menghindari eksploitasi
f.        Memberikan kelenturan dan toleransi
g.       Jujur dan amanah
2)      Prinsip Umum
a.       Ta’awun (tolong-menolong)
b.      Niat (itikad baik)
c.       Al – muawanah (kemitraan)
d.      Adanya kepastian hukum
Ada 5 hal yang perlu diingat sebagai landasan tiap kali seorang muslim akan berinteraksi ekonomi. lebih dikenal dengan singkatan MAGHRIB, yaitu Maisir, Gharar, Haram, Riba, dan Bathil.
1)                        Maisir
                        Maisir sering dikenal dengan perjudian karena dalam praktik perjudian seseorang bisa untung atau bisa rugi.
2)                        Gharar
            Setiap transaksi yang masih belum jelas barangnya atau tidak berada dalam kuasanya alias di luar jangkauan termasuk jual beli gharar. Boleh dikatakan bahwa konsep gharar berkisar kepada makna ketidaktentuan dan ketidakjelasan sesuatu transaksi yang dilaksanakan, secara umum dapat dipahami sebagai berikut :
1)      Sesuatu barangan yang ditransaksikan itu wujud atau tidak
2)      Sesuatu barangan yang ditransaksikan itu mampu diserahkan atau tidak
3)      Transaksi itu dilaksanakan secara yang tidak jelas atau akad dan kontraknya tidak jelas, baik dari waktu bayarnya, cara bayarnya, dan lain-lain.
`           Misalnya membeli burung di udara atau ikan dalam air atau membeli ternak yang masih dalam kandungan induknya termasuk dalam transaksi yang bersifat gharar.
a.       Haram
 ialah Ketika objek yang diperjualbelikan ini adalah haram, maka transaksi nya mnejadi tidak sah. Misalnya jual beli khamr, dan lain-lain.
b.       Riba,
 yaitu penambahan pendapatan secara tidak sah antara lain dalam transaksi pertukaran barang sejenis yang tidak sama kualitas, kuantitas, dan waktu penyerahan.
c.       Bathil
Dalam melakukan transaksi, prinsip yang harus dijunjung adalah tidak ada kedzhaliman yang dirasa pihak-pihak yang terlibat. Semuanya harus sama-sama rela dan adil sesuai takarannya.
D.    Hukum Dan Sifat Jual Beli
Menilai dari hukum dan sifat jual beli, jumhur ulama membagi jual beli menjadi dua macam, yaitu jual beli yang dikatakan sah (shahih) {jual beli yang memenuhi ketentuan syara’, baik rukun maupun syaratnya} dan jual beli yang dikatakan tidak sah {jual beli yang tidak memenuhi salah satu syarat dan rukunnya sehingga jual beli menjadi rusak (fasid) atau batal}.
E.     Jual Beli Yang Dilarang Oleh Islam
1. Terlarang Sebab Ahliah (Ahli Akad)
Mereka yang dipandang tidak sah jual belinya adalah berikut ini.
a. Jual beli orang gila
b. Jual beli anak kecil
c. Jual beli orang buta
d. Jual beli terpaksa
e. Jual beli fudhul
2. Terlarang Sebab Shighat
Jual beli yang tidak memenuhi ketentuan tersebut dipandang tidak sah. Beberapa jual beli yang dipandang tidak sah atau masih diperdebatkan oleh para ulama adalah sbb :
a. Jual beli mu’athah
b. Jual beli melalui surat atau melalui utusan
c. Jual beli dengan isyarat atau tulisan
3. Terlarang Sebab Ma’qud Alaih (Barang Jualan)
            Ulama fiqih sepakat bahwa jual beli dianggap sah apabila ma’qud alaih adalah barang yang tetap atau bermanfaat, berbentuk, dapat diserahkan, dapat dilihat oleh orang-orang yang akad, tidak bersangkutan dengan milik orang lain dan tidak ada larangan dari syara’.
            Selain itu, ada beberapa masalah yang disepakati oleh sebagian ulama tetapi diperselisihkan oleh ulama lainnya, di antaranya sbb :
a. Jual beli benda yang tidak ada atau dikhawatirkan tidak ada
Jumhur ulama sepakat bahwa jual beli barang yang tidak ada atau dikhawatirkan tidak ada adalah tidak sah.
b. Jual beli barang yang tidak dapat diserahkan
Jual beli barang yang tidak dapat diserahkan, seperti burung yang ada di udara atau ikan yang ada di air tidak berdasarkan ketetapan syara’.
c. Jual beli gharar
Jual beli gharar adalah jual beli barang yang mengandung kesamaran. Hal itu dilarang dalam Islam sebab Rasulullah Saw bersabda, “janganlah kamu membeli ikan dalam air karena jual beli seperti itu termasuk gharar (menipu)”. (HR Ahmad)
F.     MACAM MACAM JUAL BELI
Jual beli ditinjau dari beberapa segi yaitu ditinjau dari segi objek jual beli, dari segi pelaku jual beli, dari segi hukum jual beli, dari segi pertukaran jual beli, dan dari segi harga jual beli :
1.      macam – macam jual beli ditinjau dari segi obyek jual beli
a.       jual beli benda yang kelihatan
b.      jual beli yang disebutkan sifat-sifatnya dalam perjanjian
c.       jual beli benda yang tidak ada serta tidak dapat dilihat
2.      macam – macam jual beli ditinjau dari segi pelaku akad (Subyek)
a.       Dengan lisan
b.      Dengan perantara atau urusan
c.       Jual beli dengan perbuatan
3.        Macam – macam jual beli ditinjau dari segi hukum
a.       Jual beli yang sah menurut hukum
Dari sudut pandang ini, jumhur ulama membaginya menjadi dua, yaitu:
1)      Shahih, yaitu jual beli yang memenuhi syarat dan rukunnya.
a.       Rukun jual beli
·                   Bai’ (penjual)
·                   Mustari (pembeli)
·                   Ma’qud Alaih (barang yang dijual)
·                   Shighat (Ijab dan Qabul)
b. Syarat  jual beli
·         In’iqadah (Syarat terjadinya akad)
·         Syarat sahnya akad
·         Nafadz (Syarat terlaksananya akad)
·         Syarat lujum
2)   Ghairu Shahih, yaitu jual beli yang tidak memenuhi salah satu syarat dan   rukunnya
a.       Jual beli yang sah tapi terlarang
Ada beberapa cara jual beli yang dilarang oleh agama walaupun sah. Karena mengakibatkan beberapa hal yaitu, menyakiti si penjual dan pembeli.
Contoh : seseorang membeli barang dengan harga yang lebih tinggi dari harga awal, sedangkan ia tidak menginginkan barang itu, tetapi semata-mata supaya orang lain tidak dapat membeli barang tersebut.
b.      Jual beli yang terlarang dan tidak sah hukumnya
Beberapa contoh jual beli yang tidak sah hukumnya,
1.      jual beli yang dihukumkan najis oleh agama.
2.      Jual beli anak binatang yang masih berada dalam perut induknya.
3.      Jual beli dengan syarat
4.      Larangan menjual makanan hingga dua kali ditakar.
4.      Macam – macam jual beli berdasarkan pertukaran
a.       Jual beli saham (Pesanan)
b.      Jual beli muqayadhah (Barter)
c.       Jual beli mutlaq
d.      Jual beli alat penukar dengan alat penukar
5.      Macam – macam jual beli berdasarkan segi harga
a.       Jual beli yang menguntungkan (al-murabbahah).
b.      Jual beli yang tidak menguntungkan (at-tauliyah).
Yaitu menjual barang dengan harga aslinya sehingga penjual tidak mendapatkan keuntungan.
c.       Jual beli yang merugikan (al-khasrah)
d.      Jual beli yang menyembunyikan harga (al-musawah)
Yaitu penjual menyembunyikan harga aslinya, tetapi kedua orang yang akad saling meridhoi.


[1] Al-Zuhaily Wahbah, Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh, (Damaskus, 2005), juz 4.
[2] Ibid
[3] Ibid, hlm. 9.