Nama
: Ricky Setiawan
NIM
: 931211116
Kelas
: HES D
John Milton (Aeropagitica)
Unsur yang baik
dan yang jahat diketahui tumbuh bersama hingga tidak bisa dengan mudah dipilah
dan dipilih mana yang salah. Perlu adanya pengetahuan agar umat manusia bisa memilih
mana yan meng benar-benar baik maupun sebaliknya, oleh karena itu manusia tanpa
pengetahuan dalam memilih hal yang benar dan salah tidak akan mungkin dapat
menjaga kemurnian dirinya dari orang yang jahat.
John Milton,
seorang filsuf sekaligus seniman paling vokal dalam urusan demokrasi pada abad
17. Para raja dan prelat (hirarki gereja) gereja sangat ia benci ,meski sempat
dianggap ingin menghancurkan akan tetapi semkin lama menunjukkan bahwa john
milton sebenarnya ingin membela hak-hak atas masyarakat negaranya.
Pengetahuan yang
menjadi keutamaan merupakan bibit yang masih dalam proses penanaman dalam
pencapaian pertumbuhan menjadi pohon yang besar, atau masih dalam proses
menumbuhkan pengetahuan akan cara memilah kebajikan. Karenanya diperlukan
observasi atau penyelidikan tentang suatu kejahatan dimana menyangkut hal-hal
yang bersifat egosentris dalam penetapan suatu ilmu pengetahuan atau kebijakan
yang bersifat otoriter. Hal ini diambil sebagai langkah-langkah untuk
menghindari dampak negatif, yakni pengaruh buruk mungkin akan meluas ( sebagai
contoh : perdebatan dalam bidang agama harus hilang dari dunia, termasuk
al-kitab-alkitab harus dimusnakan) ,al-kitab berada pada urutan pertama pada
datar buku yang dilarang oleh para pengikut Paus, serta pujangga-pujangga hebat
akan menjadi incaran bagi mereka yang tidak sependapat dengan isi al-kitab yang
terlalu membuka luas informasi tentang perilaku-perilaku masyarakat pada zaman
jahilia sebelum diturunkannya injil, sedangkan hal-hal yang baik justru malah
tidak dijelaskan secara lengkap. Hal-hal yang tidak baik malah tidak mendapat
perhatian lebih dari badan sensor saat itu, hal ini menjadikan buku yang ada menjadi
berbahaya bagi orang-orang yang masih awam.
Buku-buku tersebut
menyesatkan dan tidak dapat dipertanggung jawabkan konteks, akan tetapi Paus
dan para pujangga-pujangga yang ada bukanlah aktor pembentuk buku ini, justru buku-buku yang benar-benar berisi
kajian-kajian ilmu keagamaan yang banyak memuat kebaikan dan menentang keras
segala macam bentuk kejahatan malah di cekal dan tidak diperbolehkan untuk
dibaca khalayak atau masyarakat umum. Plato, seorang yang memiliki otoritas
tinggi tapi rendah otoritasnya di masyarakat karena tulisan Republiknya
dalam bukunya Laws. Yang mana pada buku tersebut memuat aturan-aturan
serta hukum atas ketidak toleransian dalam segala aspek hukum. Pembatasan cara
maupun orang yang ingin mencari ilmu, menjadikannya orang yang terkucilkan.
Kekebalan hukum
dan kesembronoan, merupakan sumber pokok yang menyebabkan masyarakat menjadi
bingung akan polemik yang ada kala itu, akan tetapi hal ini menjadi sebuah seni
demokrasi yang melahirkan pemikiran baru, bagaima membedakan hal-hal yang hanya
dapat dibatasi dan dipidana oleh hukum dan mana saja yang akan berhasil dengan
himbauan. Banyak orang mencela ilmu ketahuidan karena membiarkan Adam
melakukan sebuah pelanggaran, itu adalah hal yang tidak benar. Karena Adam telah
diberikan kebebasan memilih, sebab akal merupakan suatu tindakan memilih. Dalam
hal ini kita sebagai manusia tidaklah mungkin dapat menghalau rasa atau pilihan
kita. Dan kita tidak mungkin dapat menghapus suatu dosa dengan menghapuskan
hal-hal yang berbau dosa. Karena kita akan bisa menghapus dosa hanya dengan
meninggalkan dosa yang ada serta memperbaiki diri dengan aturan-aturan yang
sudah ditetapkan Tuhan.
Kembali pada pembahasanan
tentang buku yang tidak bermuatan positif, sebenarnya hal ini disebabkan karena
kemerosotan pribadi para penyensor yang hakikatnya malah menjadi korektor
percetakan umum, dengan mengesampingkan muatan-muatan yang benar-benar baik guna
kepentingan mendapat gaji yang sesuai dengan target yang diincarnya, dapat
diambil sikap bahwasannya penyensor macam ini adalah penyensor yang bodoh,
sombong dan ceroboh atau meluluh mencari uang. Keterberatan yang muncul ialah
terhadap para prelat (hierarki gereja) tidak hanya terbatas pada usulan mereka
dalam mengekang pluralisme dan membagikan penghasilan pajak gereja secara
merata. Ucapan dan makian petugas gereja yang tidak layak diucapkan merupakan
tanda ketidak pantasan mereka untuk mendapatkan harga diri yang setara dengan
orang lainnya. Jika menjadi mereka maka konsekuensi yang akan diterima adalah
kebodohan diri dalam lingkup sosial dimana hanya memikirkan kekuasaaan semu
yang hanya sesaat tanpa memikirkan hukum tuhan yang akan diterima.
Bukanlah sebuah
hasil ekspresi khayalan diri seseorang melainkan suara umum yang sebenarnya bisa
untuk memajukan kebenaran dalam diri orang lain, entah dalam hal pemikiran
maupun pendidikan. Jikalau dulu pernah terdapat larangan berkhotbah, sekarang
muncul lagi larangan membaca ,kecuali apa yang kita baca sudah dapat rekomendasi
dari mereka (prelat). Hal tersebut merupakan bentuk tirani kedua atas ilmu
pengetahuan, dan akan segera tampak bahwa uskup dan imam itu sama saja bagi
kita. Kejahatan-kejahatan atau kedungan para prelat yang awalnya tidak sampai
puluhan, kini akhirnya akan dapat menyeluruh kepada seluruh bangsa. Ditambah lagi
setelah para uskup dipecat dan diusir keluar dari gereja, lalu upaya reformasi
yang semata-mata demi kepentingan kedudukan jabatan perseorangan, yang akhirnya
menjadikan kebenaran harus berjalan tanpa bahan bakar ( kebenaran murni).
Kebebasan percetakan di tekan dan dibatasi, hak asasi manusia dihapuskan serta
kebebasan ilmiah dipasung dan dirantai seperti dahulu tanpa diberikan ruang
gerak atau hak yang pantas.
Bukan masalah
pemecatan dan pencopotan seorang pastor, uskup dari kursi kepemimpinan mereka
yang akan membuat negara menjadi baik, akan tetapi kebebasan hakiki yang
berpusat pada ajaran tuhan yang benarlah, yang akan membuah negara ini menjadi
lebih baik dan lebih baik lagi. Beberapa Kelompok orang bahkan mengkafirkan
orang lainnya yang tida sependapat dengan keyakinan mereka lantas menjustiikasikan
orang lain sebagai “kafir”. Kesombongan dan kebodohan merekalah yang membuat
gelisah diri mereka sendiri. Tidaklah pantas apabila kita masih memiliki sifat
tersebut, karena kita mungkin saja tidak merasa apabila kitalah yang menjadi
perusuh atau pemecah demokrasi yang damai ini. Suara hati dan naluri ketuhanan
yang kita butuhkan dalam berdemokrasi yang baik, bukan malah kesatuan atau
pemikiran egosentris yang dipaksakan atas kehendak orang banyak, yang nampak
baik padahal sebenarnya pemikiran tersebut merupakan suatu bentuk kedangkalan
dalam berfikir yang pada akhirnya menjadikan suatu hal yang utuh dan benar
menjadi porak-porandah dan tidak tertata lagi dari dalam unsur itu sendiri.
Sumber Bacaan : John Milton
No comments:
Post a Comment