Friday, 30 June 2017

John Milton (Aeropagitica)



Nama : Ricky Setiawan
NIM : 931211116
Kelas : HES D
John Milton (Aeropagitica)
            Unsur yang baik dan yang jahat diketahui tumbuh bersama hingga tidak bisa dengan mudah dipilah dan dipilih mana yang salah. Perlu adanya pengetahuan agar umat manusia bisa memilih mana yan meng benar-benar baik maupun sebaliknya, oleh karena itu manusia tanpa pengetahuan dalam memilih hal yang benar dan salah tidak akan mungkin dapat menjaga kemurnian dirinya dari orang yang jahat.
            John Milton, seorang filsuf sekaligus seniman paling vokal dalam urusan demokrasi pada abad 17. Para raja dan prelat (hirarki gereja) gereja sangat ia benci ,meski sempat dianggap ingin menghancurkan akan tetapi semkin lama menunjukkan bahwa john milton sebenarnya ingin membela hak-hak atas masyarakat negaranya.
            Pengetahuan yang menjadi keutamaan merupakan bibit yang masih dalam proses penanaman dalam pencapaian pertumbuhan menjadi pohon yang besar, atau masih dalam proses menumbuhkan pengetahuan akan cara memilah kebajikan. Karenanya diperlukan observasi atau penyelidikan tentang suatu kejahatan dimana menyangkut hal-hal yang bersifat egosentris dalam penetapan suatu ilmu pengetahuan atau kebijakan yang bersifat otoriter. Hal ini diambil sebagai langkah-langkah untuk menghindari dampak negatif, yakni pengaruh buruk mungkin akan meluas ( sebagai contoh : perdebatan dalam bidang agama harus hilang dari dunia, termasuk al-kitab-alkitab harus dimusnakan) ,al-kitab berada pada urutan pertama pada datar buku yang dilarang oleh para pengikut Paus, serta pujangga-pujangga hebat akan menjadi incaran bagi mereka yang tidak sependapat dengan isi al-kitab yang terlalu membuka luas informasi tentang perilaku-perilaku masyarakat pada zaman jahilia sebelum diturunkannya injil, sedangkan hal-hal yang baik justru malah tidak dijelaskan secara lengkap. Hal-hal yang tidak baik malah tidak mendapat perhatian lebih dari badan sensor saat itu, hal ini menjadikan buku yang ada menjadi berbahaya bagi orang-orang yang masih awam.
            Buku-buku tersebut menyesatkan dan tidak dapat dipertanggung jawabkan konteks, akan tetapi Paus dan para pujangga-pujangga yang ada bukanlah aktor pembentuk buku ini,  justru buku-buku yang benar-benar berisi kajian-kajian ilmu keagamaan yang banyak memuat kebaikan dan menentang keras segala macam bentuk kejahatan malah di cekal dan tidak diperbolehkan untuk dibaca khalayak atau masyarakat umum. Plato, seorang yang memiliki otoritas tinggi tapi rendah otoritasnya di masyarakat karena tulisan Republiknya dalam bukunya Laws. Yang mana pada buku tersebut memuat aturan-aturan serta hukum atas ketidak toleransian dalam segala aspek hukum. Pembatasan cara maupun orang yang ingin mencari ilmu, menjadikannya orang yang terkucilkan.
            Kekebalan hukum dan kesembronoan, merupakan sumber pokok yang menyebabkan masyarakat menjadi bingung akan polemik yang ada kala itu, akan tetapi hal ini menjadi sebuah seni demokrasi yang melahirkan pemikiran baru, bagaima membedakan hal-hal yang hanya dapat dibatasi dan dipidana oleh hukum dan mana saja yang akan berhasil dengan himbauan. Banyak orang mencela ilmu ketahuidan karena membiarkan Adam melakukan sebuah pelanggaran, itu adalah hal yang tidak benar. Karena Adam telah diberikan kebebasan memilih, sebab akal merupakan suatu tindakan memilih. Dalam hal ini kita sebagai manusia tidaklah mungkin dapat menghalau rasa atau pilihan kita. Dan kita tidak mungkin dapat menghapus suatu dosa dengan menghapuskan hal-hal yang berbau dosa. Karena kita akan bisa menghapus dosa hanya dengan meninggalkan dosa yang ada serta memperbaiki diri dengan aturan-aturan yang sudah ditetapkan Tuhan.
            Kembali pada pembahasanan tentang buku yang tidak bermuatan positif, sebenarnya hal ini disebabkan karena kemerosotan pribadi para penyensor yang hakikatnya malah menjadi korektor percetakan umum, dengan mengesampingkan muatan-muatan yang benar-benar baik guna kepentingan mendapat gaji yang sesuai dengan target yang diincarnya, dapat diambil sikap bahwasannya penyensor macam ini adalah penyensor yang bodoh, sombong dan ceroboh atau meluluh mencari uang. Keterberatan yang muncul ialah terhadap para prelat (hierarki gereja) tidak hanya terbatas pada usulan mereka dalam mengekang pluralisme dan membagikan penghasilan pajak gereja secara merata. Ucapan dan makian petugas gereja yang tidak layak diucapkan merupakan tanda ketidak pantasan mereka untuk mendapatkan harga diri yang setara dengan orang lainnya. Jika menjadi mereka maka konsekuensi yang akan diterima adalah kebodohan diri dalam lingkup sosial dimana hanya memikirkan kekuasaaan semu yang hanya sesaat tanpa memikirkan hukum tuhan yang akan diterima.
            Bukanlah sebuah hasil ekspresi khayalan diri seseorang melainkan suara umum yang sebenarnya bisa untuk memajukan kebenaran dalam diri orang lain, entah dalam hal pemikiran maupun pendidikan. Jikalau dulu pernah terdapat larangan berkhotbah, sekarang muncul lagi larangan membaca ,kecuali apa yang kita baca sudah dapat rekomendasi dari mereka (prelat). Hal tersebut merupakan bentuk tirani kedua atas ilmu pengetahuan, dan akan segera tampak bahwa uskup dan imam itu sama saja bagi kita. Kejahatan-kejahatan atau kedungan para prelat yang awalnya tidak sampai puluhan, kini akhirnya akan dapat menyeluruh kepada seluruh bangsa. Ditambah lagi setelah para uskup dipecat dan diusir keluar dari gereja, lalu upaya reformasi yang semata-mata demi kepentingan kedudukan jabatan perseorangan, yang akhirnya menjadikan kebenaran harus berjalan tanpa bahan bakar ( kebenaran murni). Kebebasan percetakan di tekan dan dibatasi, hak asasi manusia dihapuskan serta kebebasan ilmiah dipasung dan dirantai seperti dahulu tanpa diberikan ruang gerak atau hak yang pantas.
            Bukan masalah pemecatan dan pencopotan seorang pastor, uskup dari kursi kepemimpinan mereka yang akan membuat negara menjadi baik, akan tetapi kebebasan hakiki yang berpusat pada ajaran tuhan yang benarlah, yang akan membuah negara ini menjadi lebih baik dan lebih baik lagi. Beberapa Kelompok orang bahkan mengkafirkan orang lainnya yang tida sependapat dengan keyakinan mereka lantas menjustiikasikan orang lain sebagai “kafir”. Kesombongan dan kebodohan merekalah yang membuat gelisah diri mereka sendiri. Tidaklah pantas apabila kita masih memiliki sifat tersebut, karena kita mungkin saja tidak merasa apabila kitalah yang menjadi perusuh atau pemecah demokrasi yang damai ini. Suara hati dan naluri ketuhanan yang kita butuhkan dalam berdemokrasi yang baik, bukan malah kesatuan atau pemikiran egosentris yang dipaksakan atas kehendak orang banyak, yang nampak baik padahal sebenarnya pemikiran tersebut merupakan suatu bentuk kedangkalan dalam berfikir yang pada akhirnya menjadikan suatu hal yang utuh dan benar menjadi porak-porandah dan tidak tertata lagi dari dalam unsur itu sendiri.
Sumber Bacaan : John Milton

No comments:

Post a Comment