RESUME
BAB
3
(
AKAD )
Review
ini disusun Untuk memenuhi tugas:
FIQH
MUAMALAH 1
Dosen
Pengampu: Drs. Abdul Wahab Ahmad Khalil,M.A
Disusun oleh:
Ricky setiawan :
931211116
PROGRAM
STUDI HUKUM EKONOMI SYARI’AH
JURUSAN SYARI’AH
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN)
KEDIRI
2017
RESUME PEMBAHASAN
A. PENGERTIAN
AKAD
Akad
atau dalam bahasa arab ‘aqad, artinya ikatan atau janji (‘ahdun).
Menurut Wahbah Al-Juhali, akad adalah ikatan antar dua perkara, baik dalam
ikatan nyata maupun ikatan secara maknawi, dari satu segi maupun dari dua segi.
Menurut
para ulama hukum islam, akad adalah ikatan atau perjanjian, sebagaimana ulama
mazhab dari kalangan Syafi’iyah, Malikiyah, dan Hanabilah mendefinisikan akad
sebagai suatu perikatan atau perjanjian. Yang mencakup ;
a.
Perjanjian
(al-‘ahd)
b.
Persetujuan
dua buah perjanjian atau lebih
c.
Perikatan
(al-‘aqd)
Dalam akad pada dasarnya dititikberatkan pada
kesepakatan antar dua belah pihak yang ditandai dengan ijab-qabul. Dengan
demikian ijab-qabul adalah suatu perbuatan atau pernyataan untuk menunjukkan
suatu keridhaan dalam berakad yang dilakukan oleh dua orang atau lebih,
sehingga terhindar atau keluar dari suatu ikatan yang tidak berdasarkan syara’.
Karena itu, dalam islam tidak semua bentuk kesepakatan atau perjanjian dapat
dikategorikan sebagai akad,terutama kesepakatan yang tidak didasarkan pada
keridhaan dan syariah islam.
B.
SYARAT-SYARAT SAH AKAD
Syarat-syarat terjadinya akad ada dua macam :
a.
Syarat-syarat yang
bersifat umum, yaitu syarat-syarat yang wajib sempurna wujudnya dalam berbagai
akad.
b.
Syarat-syarat yang
bersifat khusus, yaitu syarat-syarat yang wujudnya wajib ada dalam sebagian
akad, syarat khusus ini disebut sebagai idhafi (tambahan) yang harus ada
disamping syarat-syarat yang umum,.
Syarat-syarat umum yang harus dipenuhi dalam
berbagai macam akad :
1.
Kedua orang yang
melakukan akad cakap bertindak (ahli).
2.
Yang dijadikan
obyek akad dapat menerima hukumnya.
3.
Akad itu diijinkan
oleh syara’, dilakukan oleh orang yang mempunyai hak melakukannya, walaupun dia
bukan aqid yang memiliki barang.
4.
Akad bukan jenis
akad yang dilarang, seperti jual beli mulasamah.
5.
Ijab harus berjalan
terus, maka ijab tidak sah apabila ijab tersebut dicabut(dibatalkan) sebelum
adanya qabul.
6.
Ijab dan qabul
harus bersambung, jika seseorang melakukan ijab dan berpisah sebelum terjadinya
qabul, maka ijab yang demikian dianggap tidak sah (batal).
7.
Bahasa yang
digunakan harus jelas dan dipahami kedua belah pihak, baik lisan maupun
tulisan.
8.
Dilakukan dengan
itikad yang baik dari keduanya dan pengambilan manfaat objek akad.
9.
Kedua belah pihak
berada ditempat yang sama atau tempat yang berbeda yang sebelumnya sudah
disepakati dan sudah menjadi bagian dari transaksi modern, seperti akad jual
beli sistem pesanan (salam), sistem elektrik, transaksi melalui internet, dan
sebagainya. Akad yang tidak memerlukan tempat yang sama cukup banyak contohnya
karena dewasa ini transaksi yang demikian sudah merupakan transaksi yang
efektif dan efesien. Hanya ada tiga akad yang disarankan kedua belah pihak
hadir bersamaan ditempat yang sama, yaitu :
(1) Akad Wasiat
(2) Akad Penitipan Barang
(3) Akad Perkawinan.
Apabila salah satu pihak tidak hadir, harus
memberikan kuasa kepada orang lain secara resmi dan tertulis.
C. Rukun-rukun
Akad.
Terdapat perbedaan pendapat dikalangan fuqaha
berkenaan dengan rukun akad.[1]
Menurut ulama jumhur fuqaha rukun akad terdiri atas :
1.
‘Aqidan yaitu orang yang
berakad (bersepakat). Pihak yang melakukan akad ini dapat terdiri dua orang
atau lebih. Pihak yang berakad dalam transaksi jual beli dipasar. Biasanya
terdiri dari dua orang yaitu pihak penjual dan pembeli. Dalam hal warisan,
misalnya ahli waris bersepakat untuk memberikan sesuatu kepada pihak lain, maka pihak yang diberi
tersebut boleh jadi terdiri dari bebrapa orang.
2.
Ma’qud ‘alaih ialah benda-benda
yang diakadkan, seperti benda-benda yang ada dalam transaksi jual beli, dalam
akad hibah, dalam aqad gadai dan bentuk-bentuk aqad lainnya.
3.
Maudhu’al-‘aqd yaitu tujuan pokok
dalam melakukan aqad. Seseorang ketika melakukan aqad, biasanya mempunyai
tujuan yang berbeda-beda. Karena itu, berbeda dalam bentuk aqadnya, maka
berbeda pula tujuannya. Dalam aqad jual beli, tujuan pokoknya adalah
memindahkan barang dari pihak penjual kepihak pembeli dengan disertai gantinya
(berupa uang atau barang). Demikian juga dalam aqad hibah tujuan pokoknya
adalah memindahkan barang dari pihak pembeli kepada pihak yang diberi tanpa ada
pengganti dan masih banyak contoh yang lainnya
4.
Sighat al-‘aqd yang terdiri dari
ijab dan qabul.
Pengertian ijab adalah permulaan penjelasan yang
keluar dari slah seoreang yang beraqad sebagai gambaran kehendaknya dalam
mengadakan aqad. Sedangkan qabul adalah perkataan yang keluar dari pihak yang
lain, yang diucapkan setelah adanya ijab. Adapun pengertian ijab/qabul pada
sekarang ini dapat dipahami sebagai bentuk bertukarnya sesuatu dengan yang
lain, sehingga sekarang ini berlangsungnya ijab/qabul dalam transaksi jual beli
tidak harus berhadapan (bertemu langsung), misalnya berlangganan majalah,
pembeli menerima barang beliannya tersebut dari petugas pos (jasa kurir).
Hal-hal yang harus diperhatikan dalam sighat al-‘aqd ialah :
a.
Sighat al-‘aqd harus jelas
pengertiannya, maka kata-kata dalam ijab qabul harus jelas dan tidak
menimbulkan banyak pengertian (bias), misalnya seseorang mengucapkan “aku
serahkan benda ini”. Kalimat tersebut masih belum dapat dipahami secara jelas,
apakah benda tersebut diserahkan sebagai pemberian, penjualan, atau titipan.
b.
Antara ijab dan
qabul harus bersesuaian, maka tidak boleh antar pihak berijab dan menerima
(qabul) berbeda lafadz, sehingga dapat menim,bulkan persengketaan, misalnya
seseorang mengatakan ”aku serahkan benda ini sebagai titipan” kemudian yang
mengucapkan qabul berkata “aku teriama benda ini sebagai pemberian.
c.
Menggambarkan
kesungguhan kemauan dari pihak pihak yang bersangkutan tanpa adanya unsur
paksaan atau ancaman dari pihak lain
Sementara itu fuqaha dari kalangan Hanafiyah
berpendapat bahwa rukun jual beli itu hanya berupa sighat al-‘aqd (ijab
dan qabul)[2].
Menurut mereka ‘aqid, maudhu’ al’aqd dan ma’qud ‘alaih bukan termasuk
rukun aqad melainkan lebih tepat sebagai syarat akad. Perbedaan ini timbul;
akibat perbedaan mereka dalam memahami antara pengertian rukun dan syarat.
Makna rukun menurut kalangan ahli fiqh dan
ahli ushul fiqh : “sesuatu yang menjadikan tegaknya dan adanya sesuatu,
sedangkan ia bersifat internal (dakhili) dari sesuatu yang ditegakkannya”.
Sesuai dengan pengertian diatas, maka rukun
akad adalah kesepakatan antara dua belah pihak yaitu ijab dan qabul. Sedangkan
pihak pelaku ijab dan qabul (menurut pengertian diatas) tidak termasuk dalam
rukun dari perbuatannya, kerena pelaku tidak termasuk bagian internal
(dakhlili) dari perbuatannya. Sebagaimana seorang melakukan ibadah sholat, maka
dia tidak dapat dikatakan sebagai rukun sholat. Namun demikian sebagian fuqaha
seperti al-Ghazali (seorang ulama Syafi’iyah) dan Syihab al-Karakhi (seorang
ulama Malikiyah) berpendapat bahwa ‘aqid sebagai rukun akad dengan pengertian
dia merupakan salah satu dari pilar utama dalam tegaknya akad.
D. Kedudukan,Fungsi,
dan Pembagian Akad
A.
Kedudukan dan
fungsi akad
Kedudukan dan fungsi akad adalah sebagai alat yang
paling utama dalam sah atau tidaknya muamalah dan menjadi tujuan akhir dari
muamalah.
1.
Tidak sah akad yang
disertai dengan syarat.
2.
Akad yang dapat
dipengaruhi harga adalah akad-akad yang mengandung unsur pertukaran seperti
jual beli atau sewa.
3.
Cacat yang
karenanya barang dagang bisa dikembalikan adalah cacat yang bisa mengurangi
harga/nilai barang dagangan, dan turunnya harga karena perbedaan harga bukanlah
termasuk cacat dalam jual beli.
4.
Akad yang tidak
dimaksudkan untuk pertukaran seperti hibah tanpa imbalan dan sedekah tak ada
sedikitpun pengaruh harga didalamnya.
5.
Akad akan
rusak/batal sebab mati atau gilanya aqid kecuali dalam aqad pernikahan.
6.
Dalam hal
pernikahan jika ada cacat dalam mahar maka boleh dikembalikan dan akadnya tetap
sah dengan konsekuensi harus diganti.
B.
Pembagian atau
macam-macam akad
a.
‘Aqad Munjiz yaitu akad yang
dilaksanakan langsung pada saat selesainya akad. Pernyataan akad yang diikuti
dengan pelaksanan akad ialah pernyataan yang tidak disertai dengan
syarat-syarat dan tidak pula ditentukan waktu pelaksanaan setelah adanya akad.
b.
‘Aqad Mu’alaq Yaitu akad yang
dalam pelaksanaannya terdapat syarat-syarat yang telah ditentukan dalam akad,
seperti penentuan penyerahan barang-barang yng diakadkan setelah adanya
pembayaran.
c.
‘Aqad Mudhaf
Yaitu akad yang dalam pelaksanaannya terdapat
syarat-syarat mengenai penangguhan pelaksanaan akad, pernyataan yang
pelaksanaannya ditangguhkan hingga waktu yang ditentukan, perkataan tersebut
sah dilakukan pada waktu akad, tetapi belum mempunyai akibat hukum sebelum
tibanya waktu yang telah ditentukan.
C.
JENIS-JENIS
AKAD
1.
Ada tidaknya qismah
pada akad, :
a. Akad musammah yaitu akad yang telah
ditetapkan syara’ dan telah ada hukum-hukumnya, seperti jual beli, hibah,
ijarah, dan lain-lain.
b. Akad ghair musammah ialah akad yang belum
ditetapkan oleh syara’ dan belum ditetapkan hukum-hukumnya.
2.
Disyariatkan dan
tidaknya akad, :
a. Akad musyara’ah ialah akad-akad yang
dibenarkan oleh syara’ seperti gadai dan jual beli.
b. Akad mamnu’ah ialah akad-akad yang dilarang
syara’ seperti menjual ikan dalam kolam atau anak binatang masih dalam perut
induknya.
3.
Sah dan batlnya
akad, :
a. Akad shahihah yaitu suatu akad yang telah
memenuhi syarat-syarat yang ditetapkan, baik syarat yang bersifat umum ataupun
khusus.
b. Akad fasidah yaitu akad-akad yang cacat
karena tidak memenuhi syarat-syarat yang ditentukan, baik dalam syarat umum
ataupun khusus.
4.
Sifat bendanya, :
a. Akad ‘ainiyah yaitu akad yang disyaratkan
dengan penyerahan barang-barangnya, seperti jial beli.
b. Akad ghair ‘ainiyah yaitu akad yang tidak
disertai dengan penyerahn barang-barang, karena tanpa disertai dengan
penyerahan barangpun akad telah berhasil, seperti akad amanah.
5.
Akad ditinjau dari
segi cara melakukannya,:
a. Akad yang harus dilakukan dengan upacar tertentu
seperti akad pernikahan yang harus dihindari oleh dua orang saksi, wali maupun
petugas pencatat nikah.
b. Akad ridha’iyah yaitu akad-akad yang
dilakukan tanpa upacara tertentu dan terjadi karena kedua belah pihak saling
meridhai, seperti yang terjadi pada akad umumnya.
6.
Berlaku dan
tidaknya akad, :
a. Akad nafidzah yaitu akad yang bebas atu
terlepas dari penghalang-penghalang akad.
b. Akad mauqufah yaitu akad-akad yang bertalian
dengan persetujuan-persetujuan, seperti akad fudhuli (akad yang berlaku
setelah disetujui oleh pemilik harta)
7.
Luzum dan dapat
dibatalkannya, :
a.
Akad lazim yang
menjadi hak kedua belah pihak yang tidak dapat dipindahkan seperti akad kawin,
manfaat perkawinan tidak dapat dipindahkan kepada orang lain, seperti
bersetubuh. Tetapi akad nikah dapat diakhiri dengan cara yang dibenarkan syara’
seperti talak dan khulu’.
b.
Akad lazim yang
menjadi hak kedua belah pihak dan dapat dipindahkan dan dirusakkan, seperti
persetujuan jual-beli dan akad-akad lainnya.
c.
Akad lazim
yang menjadi hal salah satu pihak, seperti rahn, orang yang menggadaikan
sesuatu benda punya kebebasan kapan saja dia dapat melepaskan rahn atau menebus
kembali barangnya.
d.
Akad lazim
yang menjadi hak dua belah pihak tanpa menunggu persetujuan salah satu pihak,
seperti titipan boleh diminta oleh orang yang menitipkan tanpa menunggu
persetujuan dari orang yang menerima titipan boleh mengembalikan barang yang
dititipkan kepada yang menitipkan tanpa menunggu persetujuan dari yang
menitipkan.
8.
Tukar-menukar hak, :
a. Akad mu’awadhah yaitu yang berlaku atas
dasar timbal balik seperti jual-beli.
b. Akad tabarru’at yaitu akad-akad yang berlaku
atas dasar pemberian dan pertolongan, seperti hibbah.
c. Akad yang tabarru’at pada awalnya dan
menjadi akad mu’awadhah pada akhirnya seperti qiradh dan kafalah.
9.
Harus dibayar ganti
dan tidaknya, :
a. Akad dhaman yaitu akad yang menjadi tanggung
jawab pihak kedua sesudah benda-benda itu diterima seperti qiradh.
b. Akad amanah yang tanggung jawab kerusakan
oleh pemilik benda, bukan oleh pihak yang memegang barang, seperti titipan (ida’).
c. Akad yang dipengaruhi oleh beberapa unsur, salah satu
segi merupakan dhaman, dari segi yang lain merupakan amanah, seperti rahn
(gadai).
10.
Tujuan akad yaitu
dari segi tujuannya :
a. Bertujuan memiliki (tamlik), seperti jual beli.
b. Bertujuan untuk mengadakan usaha bersama
(perkongsian) seperti syirkah dan mudharabah.
c. Bertujuan memperkokoh kepercayaan (tautsiq) saja,
seperti rahn dan kafalah.
d. Bertujuan menyerahkan kekuasaan, seperti wakalah
dan washiyah.
11.
Temporer (faur)
dan berkesinmbungan (istimrar), :
a. Akad fauriyah yaitu akad-akad yang dalam
pelaksanaannya tidak memerlukan waktu yang lama, pelaksanaannya tidak
memerlukan waktu yang lama, pelaksanaan akd hanya sebentar saja (temporer),
seperti jual-beli.
b. Akad istimrar disebut juga akad zamaniyah,
yaitu hukum akad terus berjalan, seperti ‘ariyah.
12.
Ashliyah dan
thabi’iyah, :
a. Akad ashliyah yaitu akad yang berdiri
sendiri tanpa memerlukan adanya sesuatu dari yang lain, seperti jual-beli.
b. Akad thabi’iyah yaitu akad yang membutuhkan
adanya yang lain, seperti adanya rahn tidak dilakukan bila tidak ada utang.
D.
Berakhirnya akad
Berakhirnya akad dapat disebabkan karena
fasakh, kematian atau karena ada pihak lain dalam akad mauquf.
1.
Berakhirnya akad
karena fasakh. Hal-hal yang menyebabkan timbulnya fasakhnya akad adalah sebagai
berikut :
a.
Fasakh karena fasid
(rusak),
b.
Fasakh karena
khiyar.
c.
Fasakh berdasarkan
iqalah,
d.
Fasakh karena tidak
ada realisasi.
e.
Fasakh karena jatuh
tempo atau karena tujuan akad telah teralisasi.
No comments:
Post a Comment