Friday, 30 June 2017

Resume Fiqh Muamalah AKAD



RESUME
BAB 3
( AKAD )
Review ini disusun Untuk memenuhi tugas:
FIQH MUAMALAH 1
Dosen Pengampu: Drs. Abdul Wahab Ahmad Khalil,M.A



Disusun oleh:
Ricky setiawan                        : 931211116



PROGRAM  STUDI HUKUM EKONOMI SYARI’AH
JURUSAN SYARI’AH
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN) KEDIRI
2017


RESUME PEMBAHASAN
A.    PENGERTIAN AKAD
         Akad atau dalam bahasa arab ‘aqad, artinya ikatan atau janji (‘ahdun). Menurut Wahbah Al-Juhali, akad adalah ikatan antar dua perkara, baik dalam ikatan nyata maupun ikatan secara maknawi, dari satu segi maupun dari dua segi.
            Menurut para ulama hukum islam, akad adalah ikatan atau perjanjian, sebagaimana ulama mazhab dari kalangan Syafi’iyah, Malikiyah, dan Hanabilah mendefinisikan akad sebagai suatu perikatan atau perjanjian. Yang mencakup ;
a.       Perjanjian (al-‘ahd)
b.      Persetujuan dua buah perjanjian atau lebih
c.       Perikatan (al-‘aqd)
Dalam akad pada dasarnya dititikberatkan pada kesepakatan antar dua belah pihak yang ditandai dengan ijab-qabul. Dengan demikian ijab-qabul adalah suatu perbuatan atau pernyataan untuk menunjukkan suatu keridhaan dalam berakad yang dilakukan oleh dua orang atau lebih, sehingga terhindar atau keluar dari suatu ikatan yang tidak berdasarkan syara’. Karena itu, dalam islam tidak semua bentuk kesepakatan atau perjanjian dapat dikategorikan sebagai akad,terutama kesepakatan yang tidak didasarkan pada keridhaan dan syariah islam.
B.     SYARAT-SYARAT SAH AKAD
            Syarat-syarat terjadinya akad ada dua macam :
a.       Syarat-syarat yang bersifat umum, yaitu syarat-syarat yang wajib sempurna wujudnya dalam berbagai akad.
b.      Syarat-syarat yang bersifat khusus, yaitu syarat-syarat yang wujudnya wajib ada dalam sebagian akad, syarat khusus ini disebut sebagai idhafi (tambahan) yang harus ada disamping syarat-syarat yang umum,.
Syarat-syarat umum yang harus dipenuhi dalam berbagai macam akad :
1.      Kedua orang yang melakukan akad cakap bertindak (ahli).
2.      Yang dijadikan obyek akad dapat menerima hukumnya.
3.      Akad itu diijinkan oleh syara’, dilakukan oleh orang yang mempunyai hak melakukannya, walaupun dia bukan aqid yang memiliki barang.
4.      Akad bukan jenis akad yang dilarang, seperti jual beli mulasamah.
5.      Ijab harus berjalan terus, maka ijab tidak sah apabila ijab tersebut dicabut(dibatalkan) sebelum adanya qabul.
6.      Ijab dan qabul harus bersambung, jika seseorang melakukan ijab dan berpisah sebelum terjadinya qabul, maka ijab yang demikian dianggap tidak sah (batal).
7.      Bahasa yang digunakan harus jelas dan dipahami kedua belah pihak, baik lisan maupun tulisan.
8.      Dilakukan dengan itikad yang baik dari keduanya dan pengambilan manfaat objek akad.
9.      Kedua belah pihak berada ditempat yang sama atau tempat yang berbeda yang sebelumnya sudah disepakati dan sudah menjadi bagian dari transaksi modern, seperti akad jual beli sistem pesanan (salam), sistem elektrik, transaksi melalui internet, dan sebagainya. Akad yang tidak memerlukan tempat yang sama cukup banyak contohnya karena dewasa ini transaksi yang demikian sudah merupakan transaksi yang efektif dan efesien. Hanya ada tiga akad yang disarankan kedua belah pihak hadir bersamaan ditempat yang sama, yaitu :
(1) Akad Wasiat
(2) Akad Penitipan Barang
(3) Akad Perkawinan.
Apabila salah satu pihak tidak hadir, harus memberikan kuasa kepada orang lain secara resmi dan tertulis.
C.    Rukun-rukun Akad.
            Terdapat perbedaan pendapat dikalangan fuqaha berkenaan dengan rukun akad.[1] Menurut ulama jumhur fuqaha rukun akad terdiri atas :
1.      ‘Aqidan yaitu orang yang berakad (bersepakat). Pihak yang melakukan akad ini dapat terdiri dua orang atau lebih. Pihak yang berakad dalam transaksi jual beli dipasar. Biasanya terdiri dari dua orang yaitu pihak penjual dan pembeli. Dalam hal warisan, misalnya ahli waris bersepakat untuk memberikan sesuatu  kepada pihak lain, maka pihak yang diberi tersebut boleh jadi terdiri dari bebrapa orang.
2.      Ma’qud ‘alaih ialah benda-benda yang diakadkan, seperti benda-benda yang ada dalam transaksi jual beli, dalam akad hibah, dalam aqad gadai dan bentuk-bentuk aqad lainnya.
3.      Maudhu’al-‘aqd yaitu tujuan pokok dalam melakukan aqad. Seseorang ketika melakukan aqad, biasanya mempunyai tujuan yang berbeda-beda. Karena itu, berbeda dalam bentuk aqadnya, maka berbeda pula tujuannya. Dalam aqad jual beli, tujuan pokoknya adalah memindahkan barang dari pihak penjual kepihak pembeli dengan disertai gantinya (berupa uang atau barang). Demikian juga dalam aqad hibah tujuan pokoknya adalah memindahkan barang dari pihak pembeli kepada pihak yang diberi tanpa ada pengganti dan masih banyak contoh yang lainnya
4.      Sighat al-‘aqd yang terdiri dari ijab dan qabul.
Pengertian ijab adalah permulaan penjelasan yang keluar dari slah seoreang yang beraqad sebagai gambaran kehendaknya dalam mengadakan aqad. Sedangkan qabul adalah perkataan yang keluar dari pihak yang lain, yang diucapkan setelah adanya ijab. Adapun pengertian ijab/qabul pada sekarang ini dapat dipahami sebagai bentuk bertukarnya sesuatu dengan yang lain, sehingga sekarang ini berlangsungnya ijab/qabul dalam transaksi jual beli tidak harus berhadapan (bertemu langsung), misalnya berlangganan majalah, pembeli menerima barang beliannya tersebut dari petugas pos (jasa kurir). Hal-hal yang harus diperhatikan dalam sighat al-‘aqd ialah :
a.       Sighat al-‘aqd harus jelas pengertiannya, maka kata-kata dalam ijab qabul harus jelas dan tidak menimbulkan banyak pengertian (bias), misalnya seseorang mengucapkan “aku serahkan benda ini”. Kalimat tersebut masih belum dapat dipahami secara jelas, apakah benda tersebut diserahkan sebagai pemberian, penjualan, atau titipan.
b.      Antara ijab dan qabul harus bersesuaian, maka tidak boleh antar pihak berijab dan menerima (qabul) berbeda lafadz, sehingga dapat menim,bulkan persengketaan, misalnya seseorang mengatakan ”aku serahkan benda ini sebagai titipan” kemudian yang mengucapkan qabul berkata “aku teriama benda ini sebagai pemberian.
c.       Menggambarkan kesungguhan kemauan dari pihak pihak yang bersangkutan tanpa adanya unsur paksaan atau ancaman dari pihak lain
Sementara itu fuqaha dari kalangan Hanafiyah berpendapat bahwa rukun jual beli itu hanya berupa sighat al-‘aqd (ijab dan qabul)[2]. Menurut mereka ‘aqid, maudhu’ al’aqd dan ma’qud ‘alaih bukan termasuk rukun aqad melainkan lebih tepat sebagai syarat akad. Perbedaan ini timbul; akibat perbedaan mereka dalam memahami antara pengertian rukun dan syarat.
Makna rukun menurut kalangan ahli fiqh dan ahli ushul fiqh : “sesuatu yang menjadikan tegaknya dan adanya sesuatu, sedangkan ia bersifat internal (dakhili) dari sesuatu yang ditegakkannya”.
Sesuai dengan pengertian diatas, maka rukun akad adalah kesepakatan antara dua belah pihak yaitu ijab dan qabul. Sedangkan pihak pelaku ijab dan qabul (menurut pengertian diatas) tidak termasuk dalam rukun dari perbuatannya, kerena pelaku tidak termasuk bagian internal (dakhlili) dari perbuatannya. Sebagaimana seorang melakukan ibadah sholat, maka dia tidak dapat dikatakan sebagai rukun sholat. Namun demikian sebagian fuqaha seperti al-Ghazali (seorang ulama Syafi’iyah) dan Syihab al-Karakhi (seorang ulama Malikiyah) berpendapat bahwa ‘aqid sebagai rukun akad dengan pengertian dia merupakan salah satu dari pilar utama dalam tegaknya akad.
D.    Kedudukan,Fungsi, dan Pembagian Akad
A.    Kedudukan dan fungsi akad
Kedudukan dan fungsi akad adalah sebagai alat yang paling utama dalam sah atau tidaknya muamalah dan menjadi tujuan akhir dari muamalah.
1.      Tidak sah akad yang disertai dengan syarat.
2.      Akad yang dapat dipengaruhi harga adalah akad-akad yang mengandung unsur pertukaran seperti jual beli atau sewa.
3.      Cacat yang karenanya barang dagang bisa dikembalikan adalah cacat yang bisa mengurangi harga/nilai barang dagangan, dan turunnya harga karena perbedaan harga bukanlah termasuk cacat dalam jual beli.
4.      Akad yang tidak dimaksudkan untuk pertukaran seperti hibah tanpa imbalan dan sedekah tak ada sedikitpun pengaruh harga didalamnya.
5.      Akad akan rusak/batal sebab mati atau gilanya aqid kecuali dalam aqad pernikahan.
6.      Dalam hal pernikahan jika ada cacat dalam mahar maka boleh dikembalikan dan akadnya tetap sah dengan konsekuensi harus diganti.
B.     Pembagian atau macam-macam akad
a.        ‘Aqad Munjiz yaitu akad yang dilaksanakan langsung pada saat selesainya akad. Pernyataan akad yang diikuti dengan pelaksanan akad ialah pernyataan yang tidak disertai dengan syarat-syarat dan tidak pula ditentukan waktu pelaksanaan setelah adanya akad.
b.      ‘Aqad Mu’alaq Yaitu akad yang dalam pelaksanaannya terdapat syarat-syarat yang telah ditentukan dalam akad, seperti penentuan penyerahan barang-barang yng diakadkan setelah adanya pembayaran.
c.       ‘Aqad Mudhaf Yaitu akad yang dalam pelaksanaannya terdapat syarat-syarat mengenai penangguhan pelaksanaan akad, pernyataan yang pelaksanaannya ditangguhkan hingga waktu yang ditentukan, perkataan tersebut sah dilakukan pada waktu akad, tetapi belum mempunyai akibat hukum sebelum tibanya waktu yang telah ditentukan.
C.    JENIS-JENIS AKAD
1.    Ada tidaknya qismah pada akad, :
a.    Akad musammah yaitu akad yang telah ditetapkan syara’ dan telah ada hukum-hukumnya, seperti jual beli, hibah, ijarah, dan lain-lain.
b.    Akad ghair musammah ialah akad yang belum ditetapkan oleh syara’ dan belum ditetapkan hukum-hukumnya.
2.    Disyariatkan dan tidaknya akad, :
a.    Akad musyara’ah ialah akad-akad yang dibenarkan oleh syara’ seperti gadai dan jual beli.
b.    Akad mamnu’ah ialah akad-akad yang dilarang syara’ seperti menjual ikan dalam kolam atau anak binatang masih dalam perut induknya.
3.    Sah dan batlnya akad, :
a.    Akad shahihah yaitu suatu akad yang telah memenuhi syarat-syarat yang ditetapkan, baik syarat yang bersifat umum ataupun khusus.
b.    Akad fasidah yaitu akad-akad yang cacat karena tidak memenuhi syarat-syarat yang ditentukan, baik dalam syarat umum ataupun khusus.
4.    Sifat bendanya, :
a.    Akad ‘ainiyah yaitu akad yang disyaratkan dengan penyerahan barang-barangnya, seperti jial beli.
b.    Akad ghair ‘ainiyah yaitu akad yang tidak disertai dengan penyerahn barang-barang, karena tanpa disertai dengan penyerahan barangpun akad telah berhasil, seperti akad amanah.
5.    Akad ditinjau dari segi cara melakukannya,:
a.    Akad yang harus dilakukan dengan upacar tertentu seperti akad pernikahan yang harus dihindari oleh dua orang saksi, wali maupun petugas pencatat nikah.
b.    Akad ridha’iyah yaitu akad-akad yang dilakukan tanpa upacara tertentu dan terjadi karena kedua belah pihak saling meridhai, seperti yang terjadi pada akad umumnya.
6.    Berlaku dan tidaknya akad, :
a.    Akad nafidzah yaitu akad yang bebas atu terlepas dari penghalang-penghalang akad.
b.    Akad mauqufah yaitu akad-akad yang bertalian dengan persetujuan-persetujuan, seperti akad fudhuli (akad yang berlaku setelah disetujui oleh pemilik harta)
7.    Luzum dan dapat dibatalkannya, :
a.    Akad lazim yang menjadi hak kedua belah pihak yang tidak dapat dipindahkan seperti akad kawin, manfaat perkawinan tidak dapat dipindahkan kepada orang lain, seperti bersetubuh. Tetapi akad nikah dapat diakhiri dengan cara yang dibenarkan syara’ seperti talak dan khulu’.
b.    Akad lazim yang menjadi hak kedua belah pihak dan dapat dipindahkan dan dirusakkan, seperti persetujuan jual-beli dan akad-akad lainnya.
c.    Akad lazim yang menjadi hal salah satu pihak, seperti rahn, orang yang menggadaikan sesuatu benda punya kebebasan kapan saja dia dapat melepaskan rahn atau menebus kembali barangnya.
d.    Akad lazim yang menjadi hak dua belah pihak tanpa menunggu persetujuan salah satu pihak, seperti titipan boleh diminta oleh orang yang menitipkan tanpa menunggu persetujuan dari orang yang menerima titipan boleh mengembalikan barang yang dititipkan kepada yang menitipkan tanpa menunggu persetujuan dari yang menitipkan.
8.    Tukar-menukar hak, :
a.    Akad mu’awadhah yaitu yang berlaku atas dasar timbal balik seperti jual-beli.
b.    Akad tabarru’at yaitu akad-akad yang berlaku atas dasar pemberian dan pertolongan, seperti hibbah.
c.    Akad yang tabarru’at pada awalnya dan menjadi akad mu’awadhah pada akhirnya seperti qiradh dan kafalah.
9.    Harus dibayar ganti dan tidaknya, :
a.    Akad dhaman yaitu akad yang menjadi tanggung jawab pihak kedua sesudah benda-benda itu diterima seperti qiradh.
b.    Akad amanah yang tanggung jawab kerusakan oleh pemilik benda, bukan oleh pihak yang memegang barang, seperti titipan (ida’).
c.    Akad yang dipengaruhi oleh beberapa unsur, salah satu segi merupakan dhaman, dari segi yang lain merupakan amanah, seperti rahn (gadai).
10.                   Tujuan akad yaitu dari segi tujuannya :
a.    Bertujuan memiliki (tamlik), seperti jual beli.
b.    Bertujuan untuk mengadakan usaha bersama (perkongsian) seperti syirkah dan mudharabah.
c.    Bertujuan memperkokoh kepercayaan (tautsiq) saja, seperti rahn dan kafalah.
d.   Bertujuan menyerahkan kekuasaan, seperti wakalah dan washiyah.
11.                   Temporer (faur) dan berkesinmbungan (istimrar), :
a.    Akad fauriyah yaitu akad-akad yang dalam pelaksanaannya tidak memerlukan waktu yang lama, pelaksanaannya tidak memerlukan waktu yang lama, pelaksanaan akd hanya sebentar saja (temporer), seperti jual-beli.
b.    Akad istimrar disebut juga akad zamaniyah, yaitu hukum akad terus berjalan, seperti ‘ariyah.
12.                   Ashliyah dan thabi’iyah, :
a.    Akad ashliyah yaitu akad yang berdiri sendiri tanpa memerlukan adanya sesuatu dari yang lain, seperti jual-beli.
b.    Akad thabi’iyah yaitu akad yang membutuhkan adanya yang lain, seperti adanya rahn tidak dilakukan bila tidak ada utang.
D.    Berakhirnya akad
Berakhirnya akad dapat disebabkan karena fasakh, kematian atau karena ada pihak lain dalam akad mauquf.
1.      Berakhirnya akad karena fasakh. Hal-hal yang menyebabkan timbulnya fasakhnya akad adalah sebagai berikut :
a.       Fasakh karena fasid (rusak),
b.      Fasakh karena khiyar.
c.       Fasakh berdasarkan iqalah,
d.      Fasakh karena tidak ada realisasi.
e.       Fasakh karena jatuh tempo atau karena tujuan akad telah teralisasi.


[1] Wahbah az-Zuhaili,al-fiqh al-islami wa Adillatuh,Juz 4,hlm.2930
[2] Ibid, lihat juga Ghufron A.Mas’adi Fiqh Muamalah,hlm.78

No comments:

Post a Comment